Aturan Pencatatan Nama di Dokumen Kependudukan: Jangan Asal, Ini Panduannya!

Jakarta - Nama lebih dari sekadar identitas. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencatatan Nama pada Dokumen Kependudukan, memberikan pedoman mengenai penulisan nama di dokumen kependudukan.

Nama sebagai identitas resmi yang akan tercatat di berbagai dokumen penting seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Akta Kelahiran, hingga Kartu Identitas Anak (KIA). Aturan ini bertujuan untuk memastikan bahwa nama yang tercantum mudah dipahami dan tidak menimbulkan interpretasi yang membingungkan.

Nama, bagi banyak orang, lebih dari sekadar rangkaian huruf. Nama adalah warisan, cerminan budaya, dan bahkan harapan. Namun, dalam konteks administratif, nama harus mematuhi aturan tertentu agar tidak menimbulkan masalah dalam pelayanan publik.

Dalam aturan ini, ada beberapa hal penting yang wajib diperhatikan oleh masyarakat saat memberikan nama pada dokumen resmi:

1. Mudah dibaca, tidak bermakna negatif, dan tidak multitafsir
Nama yang dicatat pada dokumen kependudukan harus jelas, tidak membingungkan, dan tentu saja tidak memiliki makna negatif. Ini penting agar nama tersebut mudah dipahami oleh semua pihak yang membutuhkan akses ke dokumen resmi, mulai dari pelayanan publik hingga urusan hukum.

2. Batas panjang nama: Maksimal 60 huruf termasuk spasi
Nama yang sangat panjang terkadang menimbulkan masalah, misalnya dalam pengisian formulir atau pembuatan dokumen digital. Nama yang terlalu panjang bisa dihindari tanpa harus kehilangan esensi identitas seseorang.

3. Jumlah kata paling sedikit 2 kata
Ini bisa jadi tantangan tersendiri bagi masyarakat yang biasa menggunakan nama satu kata. Namun, aturan ini ditujukan agar identitas seseorang lebih jelas, sehingga mengurangi potensi kebingungan dalam proses administrasi.

Bagaimana dengan nama marga dan gelar?

Peraturan ini juga memberikan ruang bagi masyarakat yang ingin mencantumkan nama marga atau famili pada dokumen resmi. Nama marga dianggap sebagai satu kesatuan dengan nama utama, sehingga tetap bisa menjadi bagian dari identitas yang tercatat.

Namun, perlu diingat, gelar pendidikan, adat, atau keagamaan hanya diperbolehkan dicantumkan pada Kartu Keluarga (KK) dan KTP-el. Penulisannya pun harus disingkat. Misalnya, gelar "Dr." atau "Hj." tetap bisa muncul di KTP-el, tetapi tidak boleh dicantumkan dalam akta kelahiran atau akta pencatatan sipil lainnya.

Selain memperbaiki tertib administrasi, Dirjen Dukcapil, Teguh Setyabudi juga menekankan pentingnya pelindungan hak anak. Menurutnya, dengan pencatatan nama yang lebih teratur, anak-anak di masa depan diharapkan memiliki identitas yang jelas dan tidak menimbulkan masalah dalam proses administratif.

"Aturan ini tidak hanya untuk kepentingan sekarang, tetapi juga untuk masa depan anak-anak kita, agar identitas mereka terlindungi dan proses administrasi berjalan lancar tanpa hambatan," ujar Dirjen Teguh, dikutip Rabu (9/10/2024).

Pada akhirnya, aturan ini bukan sekadar aturan teknis, tetapi lebih kepada upaya menciptakan tertib administrasi kependudukan yang akan berdampak langsung pada kemudahan layanan publik.

Dengan pencatatan nama yang teratur, proses pengurusan dokumen seperti paspor, NPWP, atau BPJS akan menjadi lebih lancar, tanpa hambatan terkait kesalahan atau ketidakjelasan penulisan nama.

"Nama adalah identitas yang akan kita gunakan seumur hidup, maka penting bagi kita untuk memastikan bahwa penulisannya benar dan sesuai dengan aturan yang ada," ujar Dirjen Teguh.

Jadi, jangan asal memberi nama. Pastikan semuanya sesuai aturan! Dukcapil***